SEMUA BENTUK PELAYANAN DI DINAS SOSIAL DIY TIDAK DIPUNGUT BIAYA-MEMBANTU MASYARAKAT ADALAH KEPUASAN KAMI

MENGAPA DINAMAKAN WAYANG CAKRUK?

(Last Updated On: 24 May 2019)

Oleh: Drs. Untung Sukaryadi, MM

Ada cerita tersendiri mengapa selama ini penyuluhan di Dinas Sosial menggunakan media “wayang cakruk”. Gagasan itu muncul sekitar 3 atau 4 tahun yang lalu. Saat itu muncul pemikiran tentang bagaimana mengatasi masalah sosial yang ada di masyarakat dengan penyuluhan yang efektif.

Dalam perspektif saya, seluruh penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) sesungguhnya memiliki akar persoalan yang sama: kemiskinan. Mengapa ada kemiskinan? Kemiskinan lahir karena manusia tidak terdidik atau bodoh. Orang yang bodoh menyebabkan dirinya tidak memiliki kemampuan, skill ataupun materiil untuk berkarya atau berproduksi sehingga dia miskin. Mengapa bodoh? Karena tidak memiliki akses untuk meningkatkan kompetensinya. Mengapa tidak ada akses? Karena akses untuk meningkatkan kemampuan tersebut membutuhkan biaya. Mengapa tidak ada biaya? Pada akhirnya kembali lagi ke persoalan awal: karena miskin. Kemiskinan dan kebodohan adalah mata rantai, lingkaran setan yang membutuhkan intervensi agar bisa persoalan kemiskinan bisa diatasi, termasuk kaitannya dengan PMKS.

Lalu bagaimana memutus mata rantai miskin-bodoh tersebut? Jika individu atau masyarakat yang disasar adalah kelompok muda hingga dewasa, maka solusinya adalah pendidikan, baik pendidikan formal, informal maupun non formal. Dalam hal ini, kemampuan kongnisi usia muda-dewasa cukup memadai untuk menerima asupan pendidikan dengan metode yang disesuaikan dengan kemampuannya. Tetapi, untuk kelompok dewasa hingga lanjut usia, memberikan pendidikan kepada kelompok usia ini jelas diragukan efektifitasnya. Kemampuan berpikir manusia yang cenderung lanjut usia sudah relative tertutup untuk mengenyam pendidikan secara umum. Untuk itulah dibutuhkan penyuluhan sosial, khususnya dengan media yang akrab dengan kalangan PMKS kelompok ini, yaitu kalangan menengah ke bawah.

Penyuluhan tersebut menjadi efektif ketika strategi yang digunakan berkesusaian dengan pola perilaku kelompok masyarakat ini. Diketahui, bahwa perilaku masyarakat menengah ke bawah memiliki ruang-ruang publik yang menjadi kunci perubahan sosial diantara mereka dimana mereka biasa mengakses informasi, pengetahuan dan bertukar pikiran. Ruang-ruang publik ini diantaranya adalah: pos ronda atau gardu ronda atau cakruk, jika ibu-ibu biasanya bertukar pikiran di warung sayur, arisan dan sejenisnya.

Perilaku yang terbentuk secara kultural di masayarakat lewat ruang-ruang publik ini jika dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah, tentu bisa berdampak pada perubahan masyarakat ke arah yang diharapkan. Disitulah kemudian tercetus gagasan tentang adanya wayang cakruk.

Mengapa wayang? Wayang sendiri berasal dari kata wewayangan atau bayangan. Refleksi dari kehidupan manusia baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Kesenian ini sudah akrab di Jawa dengan berbagai variannya dari yang tradisional seperti wayang kulit, wayang orang, wayang golek, sampai ke yang kontemporer seperti wayang kampung sebelah, dan yang digagas oleh Dinas Sosial DIY berupa wayang cakruk. Dengan pertunjukan wayang, masyarakat akan langsung paham bahwa nantinya mereka akan menyaksikan drama yang membawakan lakon tertentu.

Wayang cakruk, disebut demikian karena memotret kehidupan masyarakat yang berkumpul di cakruk dengan segenap persoalan yang ada diantara mereka. Wayang cakruk diadaptasi dari wayang orang yang kemudian diciptakan tokoh-tokoh yang menjadi potret manusia-manusia cakruk dengan berbagai profesi mereka. Sebagaimana diketahui, tokoh yang paling tinggi derajatnya tidak lebih dari lurah. Lakon yang dimainkan, tentu saja seputar PMKS mulai dari akar masalah sampai dengan solusinya yang dikemas sedemikian rupa sehingga bisa menampilkan kesan lucu, polos, natural dan tidak berjarak dengan masyarakat yang menyaksikannya.

Memang, tidak ada yang salah dengan menggunakan medium pertunjukan wayang yang lain, tetapi pertunjukan wayang dipandang tidak akan efektif untuk memotret persoalan yang dituju. Disampin dari segi biaya pementasan yang mahal, dIlihat dari durasi wayang kulit yang harus “ngebyar”semalam suntuk, dan baru pada “goro-goro”, yaitu ketika punakawan muncul, persoalan sosial bisa disajikan. Bukan pada jalan cerita secara umum karena itu sudah ada pakemnya. Dengan menggunakan wayang cakruk, persoalan tersebut bisa relatif teratasi.

Demikianlah asal mula mengapa Dinas Sosial menggunakan Wayang Cakruk sebagai media penyuluhan di berbagai tempat di DIY. (*)

55150cookie-checkMENGAPA DINAMAKAN WAYANG CAKRUK?

Tentang penulis

Pekerja Sosial di BRSPA DIY merangkap admin website

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Jawab dulu − 2 = 6