TRADISI KENDURI : RESTORASI SOSIAL CARA LELUHUR
Kenduri merupakan budaya yang lekat dalam masyarakat Jawa. Tradisi ini dapat ditemui di kehidupan sehari-hari, dari bentuk yang sederhana, dalam lingkup kecil, sampai dengan lingkup lebih yang besar, baik dengan kelengkapan yang sederhana ataupun kelengkapan yang lebih rinci, sesuai dengan segala syarat-syarat yang ditentukan dalam adat kenduri, yang jelas selalu ada intisari dari acara kenduri, baik dalam sesajian maupun tatacara pelaksanaannya. Dalam bentuk yang lain dengan kandungan nilai dan makna yang sama, budaya ini juga dapat ditemukan di peta kebudayaan Indonesia yang sangat kaya ini.
Kenduri berbentuk berkumpul bersama yang dihadiri lebih dari dua orang untuk memohon do’a. Permohonan do’a yang dipanjatkan bertujuan meminta keselamatan dan mengabulkan yang manusia inginkan. Kenduri dihadiri oleh handai-taulan, tetangga, rekan sekerja, sanak keluarga, arwah setempat, nenek moyang, dan dewa-dewi yang hampir terlupakan. (Geertz, 1989: 13).
Dalam kenduri, orang-orang berkumpul dengan duduk melingkar dan ada sajian makanan dengan aturan dan makna tertentu, di mana utamanya adalah adanya hewan yang disembelih, biasanya ayam jago, yang nantinya akan dibagikan kepada seluruh peserta kenduri. Pemimpin kenduri, yaitu tokoh adat atau tokoh agama, akan memimpin doa dan juga mengurai makna dari adanya sesajian makanan yang ada. Tidak dipungkiri adanya kontroversi kenduri dengan masuknya paham agama dalam masyarakat, tapi kearifan para pemuka masyarakat dan agama pada masa lalu, justru dapat meleburkan doa-doa agama, bertemu doa dengan bahasa tradisi dalam kenduri Keduanya dapat berpadu dengan harmonis dalam kenduri.
Kenduri bisa dilaksanakan dalam rangka untuk persiapan melakukan sesuatu pekerjaan yang direncanakan namun bisa juga dilaksanakan setelah adanya suatu peristiwa terjadi. Hal yang demikkian mengandung makna adanya upaya untuk memohon kepada kekuatan kekuatan Supra empiris agar sesuatunya dapat berjalan dengan lancar dan juga upaya menenangkan kembali kekuatan-kekuatan diluar sistim kekuasaan manusia dengan tujuan agar semua kembali dalam suasana yang diliputi oleh ketentraman dan keselamatan.
Dalam kenduri terkandung makna untuk menenangkan kembali alam manusia dan lingkungannya, dari ancaman, amarah dan kekerasan dari luar kekuatan manusia, dengan pengalihan kekerasan tersebut secara kolektif, kepada binatang, yang paling umum dan sederhana, yaitu dengan ayam jago yang disembelih dan dimasak serta dibagikan kepada peserta kenduri sebagai satu makna bahwa , dunia spiritual telah ditenangkan dan memohon kembali suatu keadaan yang aman tenteram pada dunia sosial dan alam sekeliling. Di sini, kenduri mengandung modal spiritual dan sosial, yakni, dalam aspek hubungan dengan kekuatan supra empiris/ Ruh Yang lebih tinggi/Tuhan dan juga kebersamaan serta kedermawanan. Modal sosial yang satu inilah yang dapat menjadi salah satu dasar penguatan kesetiakawanan, ketentraman dan juga pengikat kembali ikatan-ikatan yang memudar,karena dalam masyarakat Jawa, kondisi harmonis yang selaras dalam diri dan lingkungannya, adalah cita-cita dan harapan yang utama.
Keselarasan merupakan inti dari seluruh budaya Jawa. Bahwa cita-cita masyarakat Jawa pada hakekatnya adalah masyarakat yang harmonis (Mulder, 1983)
Bisa dikatakan, kenduri merupakan cara para leluhur untuk memulihkan kembali tata kehidupan sosial spritual agar kembali dalam kondisi ideal. Kenduri adalah cara leluhur untuk merestorasi kehidupan sosial atau memelihara tata kehidupan sosial agar selalu dalam kondisi ideal. Tradisi ini juga dapat meneguhkan kembali jati diri/kepribadian bangsa, dimana jati diri bangsa adalah pondasi kuat dalam mewujudkan kesejahteraan sosial (Dirangkum dari berbagai sumber – Penyuluh Sosial Muda Dinas Sosial DIY )