SEMUA BENTUK PELAYANAN DI DINAS SOSIAL DIY TIDAK DIPUNGUT BIAYA-MEMBANTU MASYARAKAT ADALAH KEPUASAN KAMI
(Last Updated On: 3 February 2020)

Yogyakarta (02/02/2020). Disabilitas, bukan alasan untuk mengucilkan. Bukan pula alasan untuk menjadi kecil hati. Bukan alasan untuk memprotes Sang Pencipta. Satu kelebihan lain pasti mengikuti dari sedikit keterbatasan yang dimiliki. Yang pasti Sang Pencipta telah memiliki rencana terindah dari setiap kehendaknya.

Adalah Si Slendep, gadis kecil berparas ayu, mulai merambah usia dewasa. Dia adalah putri semata wayangnya Pak Brubut dan Mbok Brubut. Tidak aneh ketika kasih sayang yang penuh diberikan oleh keduanya kepada Si Slendep. Saking sayangnya Mbok Brubut, menjadikannya over protective kepada anak perawannya. Slendep tidak boleh keluar rumah. Rumah menjadi tempat paling baik menurut Mbok Brubut untuk si buah hati. Ternyata, bukan hanya karena Slendep cantik, putri semata wayang, tetapi karena Slendep adalah seorang disabilitas. Entah kenapa sejak 16 tahun lalu dilahirkan, Slendep tidak bisa berjalan dengan normal, karena kaki kirinya tidak bisa menopang tubuh langsingnya. Slendep terpaksa berpindah tempat dengan ngesot.

Apabila bepergian jauh, maka bahu kekar Pak Brubut yang menggendongnya. Kemana saja. Dan Bu Brubut saking sayangnya kepada Slendep, tidak rela bila kondisi Slendep menjadi bahan cemoohan orang banyak. Air mata Bu Brubut sering membasahi pipi yang sudah mulai keriput bila melihat Slendep beraktifitas setiap hari.

Tidak biasanya, hari itu Slendep terlihat sesenggukan. Menangis tertahan. Seketika paras ayunya terlihat kusut. Slendep tidak makan seharian. Dia menangis berurai air mata setelah sehari sebelumnya, datang tamu Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKSK), menemui orang tuanya. Dari balik bilik kecil tempat tidurnya, Slendep mendengar kalau TKSK ingin mendaftarkan Slendep untuk kursus keterampilan di sebuah balai rehabilitasi sosial milik Dinas Sosial. Ini kesempatan saya untuk mengubah nasib, agar tidak bergantung ke Bapak dan Simbok, demikian yang terlintas di benaknya.

Tetapi, harapan itu berubah menjadi tetes air mata. Karena Mbok Brubut tidak setuju. Alasannya, tidak tega melihat anak cantiknya harus berpayah-payah latihan. Belum lagi ada ketakutan kalau Slendep akan dicemooh banyak orang. Slendep, menangis. Berurai air mata. Bingung, kecewa, haru bercampur aduk jadi satu. Tercurah dalam air matanya. Dia berpikir betapa sayangnya orang tuanya, tetapi juga merasa hilangnya kesempatan yang baik untuk mengubah nasibnya. Dia menangis, menangis dan terus menangis.

Dalam sedihnya itu, datang tamu dengan mobil bagus, keluaran terbaru. Bahkan plat nomornya masih putih merah. Tamu itu menyampaikan bahwa ingin mengajak Slendep bekerja di satu perusahaan miliknya. Gaji yang ditawarkan lumayan, Rp.3.000.000,- sebulan. Singkat cerita Slendep dipaksa untuk dibawa tamu tersebut atas ijin orang tuanya.

Nasib Slendep tidak semanis janji tamu yang membawanya saat itu. TKSK memberikan informasi bahwa Slendep telah dipaksa jadi pengemis di perempatan di salah satu kota. Kali ini, Mbok Brubut yang menangis tak terhenti. Pak Brubut murka. Proses pengambilan Slendep berlangsung dramatis. Polisi turut dikerahkan, TKSK dan petugas balai rehabilitasi juga menjadi bagian evakuasi.

Akhirnya, Slendep mengikuti pelatihan di balai rehabilitasi sosial. Hampir satu tahun Slendep meninggalkan rumahnya. Dia belajar keterampillan di balai rehabilitasi. Keterampilan menjahit menjadi pilihannya. Ketika suatu hari ada mobil balai rehabilitasi, beserta pekerja sosial berhenti di depan rumah keluarga Pak Brubut. Ada kegembiraan dan syukur. Pekerja sosial mengetuk pintu. Mengucap salam. Dan didepan tatapan dua pasang mata Pak Brubut dan Mbok Brubut, anak mungil, cantik itu telah bisa berdiri walau ditopang alat bantu jalan. Senyum manisnya mengembang dibibir. “Simbok”, itu kalimat yang terucap dari bibir gadis cantik itu. “Aku Slendep mbok”, ucap Slendep. Mbok Brubut tudak percaya dengan yang dilihatnya. Dia merasa seperti bermimpi. Ansk gadisnya sudah bisa berjalan, tidak lagi ngesot seperti dulu. Pekerja Sosial dibantu sopir mendorong mesin jahit. “Ini untuk Slendep” demikian kata pekerja sosial. Mbok Brubut tidak mampu berkata-kata, hanya air mata bahagia yang menetes, juga pelukan semakin erat pada tubuh mungil anak perawannya.

“Tangis Si Slendep sudah berganti makna. Tangis sedih telah berganti tangis bahagia. Slendep, seorang difabel yang telah kembali memiliki harapan setelah belajar dan mengikuti rehabilitasi di balai rehabilitasi sosial”, demikian Ki Dalang Marno Purbo Carito mengakhiri pagelaran wayang cakruk malam itu. Disabilitas bukan menjadi halangan.

Cerita ini, adalah sepotong dari isi Penyuluhan Sosial melalui Media Peragaan di Desa Gulurejo, Lendah Kulonprogo yang dilaksanakan Jum’at (31/02). Satu bentuk penyuluhan dengan gaya dan cara berbeda. (wb).

Ditulis oleh : wibowo budhi, Kasi Penyuluhan Sosial.

71330cookie-checkTANGIS SI SLENDEP

Tentang penulis

Pekerja Sosial di BRSPA DIY merangkap admin website

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Jawab dulu 8 + 2 =