MALAM TIRAKATAN PERINGATAN HARI KESAKTIAN PANCASILA DI MONUMEN PAHLAWAN PANCASILA, KENTUNGAN
PANCASILA, PEREKAT PERBEDAAN
SLEMAN-Pada awal Republik Indonesia prinsip Pancasila diajarkan di sekolah dibawah bimbingan arahan pemerintah. Pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP), diajarkan secara intens diajarkan sampai dengan tahun 1990-an. Namun saat ini seiring berjalannya waktu dan meningkatnya kemakmuran, seakan mengaburkan kebutuhan akan pendidikan Pancasila, sehingga cita-cita Pancasila kurang ditekankan mata pelajaran sejarah maupun mata pelajaran yang terkait lainnya. Saat ini pemerintah Indonesia telah melakukan advokasi pendidikan prinsip-prinsip Pancasila. Meskipun demikian bangsa ini sangat berbeda dengan bangsa yang didirikan lebih dari 70 tahun lalu. Tawaran ideologi dari luar seakan menerjang Indonesia, dengan pemahaman-pemahaman yang kadang dangkal dan menguntungkan segilintir orang saja.
Demikian sambutan tertulis, Gubernur DIY yang dibacakan Drs. Tavip Agus Rayanto, M.Si Selaku Asisten Daerah DIY Bidang Pemerintahan dan Administrasi Umum dalam Malam Tirakatan sarasehan peringatan Hari Kesaktian Pancasila di Monumen Pahlawan Pancasila, Kentungan, Sleman (30/9/2019). Hadir dalam malam tirakatan tersebut yaitu antara lain; pejabat ditingkat Pemda DIY, pejabat eselon 3 Dinas Sosial DIY, masyarakat umum, dan Tagana DIY.
Setelah selesai pembacaan sambutan Gubernur DIY, acara dilanjutkan dengan sarasehan. Narasumber dari sarasehan ini adalah Muhamad Jazir, ASP, dalam sarasehan Jazir menyatakan kejam dan liciknya pemberontakan G30S/PKI menelikung bangsa dan membunuh keji, dua pahlawan revolusi Brigjen Katamso, dan Kolonel Sugiyono. “Disini di Kentungan dibangun Monumen Pancasila untuk mengenang peristiwa bersejarah pembronakan G30S PKI, agar tidak terulang lagi” ungkapnya.
Narasumber menyampaikan bahwa merajut kembali persatuan Indonesia, secara metaforis di dada setiap manusia Indonesia tersemat simbolis Garuda Pancasila yang mencengkeram kuat sesanti Bhineka Tunggal Ika, meskipun memiliki keragaman etnik, agama, keyakinan, budaya, tradisi dan bahasa, bagaimana mewujudkan satu nusa satu bangsa dan satu bahasa Indonesia dalam bingkai NKRI, yang tak boleh diubah karena setiap terjadi realitas final. Hal yang menjadi pertanyaan apakah sudah sukup secara simbolis tentu saja harus diikuti aktualisasi Pancasila, bukan sebaliknya melambungkan gagasan dan membawanya ke ruang filosofis,untuk nostalgia tetapi ideal ide untuk diubah menjadi aktualitas post didunia nyata, dengan merekatkan perbedaan menjadi satu kekuatan. Malam tirakatan ditutup dengan menyanyikan lagu nasional Garuda Pancasila secara bersama-sama dan ramah tamah.
Penulis : Heru Cahyo Romadhon, S.Tr.Sos
Bidang Pemberdayaan Sosial