SEMUA BENTUK PELAYANAN DI DINAS SOSIAL DIY TIDAK DIPUNGUT BIAYA-MEMBANTU MASYARAKAT ADALAH KEPUASAN KAMI

Gerakan Bangga Penggunaan Aksara Jawa Gerbangpraja “nggugah rasa SITHIK EDHING lumantar aksara”

(Last Updated On: 12 April 2019)

Sumber : majalah Adiluhung/No.18/2019

Nilai-nilai budaya Jawa sedang diuji relevansinya dalam menghadapi arus globalisasi, tradisi besar budaya keraton Kasultanan harus digali, diimplementasikan dalam aspek kehidupan masyarakat Yogyakarta di tengah arus modernisasi secara nyata dan konkrit. Kenyataan ini menggerakkan Dinas Sosial DIY untuk mengadakan sebuah gerakan yang diberi nama Program Restorasi Sosial “Gerbangpraja” (Gerakan Bangga Penggunaan Aksara). Tujuan dari gerakan sosial ini adalah mengajak warga masyarakat khususnya yang tinggal di kawasan Daerah Istimewa Yogyakarta agar kembali mencintai dan merasa bangga menggunakan bahasa dan aksara jawa. Menurut Drs. Untung Sukaryadi, MM selaku Kepala Dinas Sosial DIY program ini diharapkan menjadi sarana untuk menggali serta mengambil kembali budaya-budaya adiluhung bangsa yang selama ini sempat terlupakan,mengantisipasi kerawanan sosial serta membangun kearifan budaya yaitu budaya sithik edhing.  Budaya ini menjadi penting karena bukan hanya sekedar mengajarkan agar kita saling berbagi ruang dan rasa tetapi juga mengajarkan agar manusia dapat saling menghormati sesama manusia dan sesama makhluk ciptaan Tuhan.

Makna Gerbangpraja

Aksara sebagai bahan refleksi tentang keistimewaan, bagaimana menyikapi keistimewaan di tengah globalisasi? Aksara menjadi kunci menuju gerbang keistimewaan yaitu sebagai upaya menggali kembali nilai-nilai dan jiwa jawa, nilai-nilai itu kemudian menjadi nilai tawar yang penting diposisikan dalam menjawab tantangan kekinian. Kiranya menjadi penting untuk kemudian menilik peran aksara dalam konteks budaya secara luas, sebagaimana pendapat KRT. Manu J. Widyaseputra, berikut:

Aksara sebagai Prakrti dan Para Praktri

Aksara dalam konteks ini adalah kemampuan dan daya menyesuaikan diri dengan perubahan yang besar. Yakni kemampuan mendialogkan masalalu sebagai bekal menuju perubahan ke masa depan.

Aksara sebagai Mahad Braman

Kemajuan sebuah budaya dapat ditandai dengan meningkatnya perubahan secara kuantitatif

Aksara sebagai Yoni

 Dicontohkan oleh para Kawi Jawa Kuna yang menuliskan dan mengubah karya-karya klasik dalam bentuk tembang untuk memaparkan pengetahuan dengan cara memberi nasehat.

Aksara sebagai Atman

Ada keterkaitan erat antara kebebasan, tanggung jawab moral dan etika dengan nilai dan kemajuan budaya. Nilai yang tidak lagi sesuai dengan keadaan dan sistem sosial pada masa tertentu akan digantikan dengan yang baru kemudian dipelihara terus dam dijalankan menjadi budaya baru.

Aksara sebagai Ksetra atau Ksetrajna

Yogyakarta telah dipercaya sebagai pusat peradaban jawa yang memiliki kekayaan pengentahuan, kepercayaan,nilai, adat istiadat yang tersimpan rapi dalam dokumen naskah-naskah sejak masa kuno hingga klasik, diperoleh pengertian bahwa Yogyakarta merupakan wilayah yang disebut sebagai Sapta Sindawah.

Yogyakarta sebagai Sapta Sindawah

Merupakan daerah aliran 7 sungai : Sungai Praga, Bedog, Winanga, Code, gajah Wong, Tambak Baya dan sungai Opak-Oya. Sungai tersebut merupakan urat nadi perekonomian melalui maritim sungai. Selain itu, Yogyakarta adalah Asrama menjadi tempat pemukiman para brahmana beserta para sisya mereka yang ikut membangun peradaban intelektual yang menjadikan Yogyakarta menjadi maju dibanding wilayah lainnya. Menurut KRT. Manu J. Widyaseputra daerah yang termasuk sapta sindhawa  adalah sebuah daerah yang sangat istimewa. Daerah yang dijadikan pusat pengajaran di masalalu tidak hanya pusat pengajaran ilmu agama tetapi juga ilmu yang lain.

Di Yogyakarta telah ditemukan bekas pashraman yang sangat besar dan luas. Diperkirakan jauh lebih besar dan luas daripada Angkor Wat yang berada di Thailand. Yogyakarta juga sebagai Asrama  yang terbukti banyak perguruan tinggi berada di wilayah Yogyakarta. Tidak hanya mempercantik diri dengan orientasi pasar semata guna memperbanyak tujuan wisata tetapi seyogyanya diikuti dengan pembangunan sumber daya manusia yang meliputi etos budaya dan nilai yang mencerminkan jiwa jawa

gerakan Gerbangpraja yang dihelat oleh Dinas Sosial DIY digunakan untuk memasyaratkan kembali budaya sithik edhing. Gerakan diwujudkan dalam acara pentas seni dan kearifan lokal berwujud reresik kali dan gogoh iwak. Reresik kali dan Gogoh Iwak sendiri adalah sebuah budaya, mengubah cara masyarakat dalam berperilaku dan memperlakukan sungai. Sungai adalah sebuah sumber perekonomian pada jaman dahulu.

Sebagai penutup dalam wawancara Drs. Untung Sukaryadi, MM selaku Kepala Dinas Sosial DIY menyampaikan bahwa Inilah penerapan sithik edhing, sehingga reresik kali rejekine mili dapatlah terwujud, tentu dibarengi dengan gogoh iwak ora ngrusak dan budaya ini lah yang dimaknai dengan sebagai nggugah rasa sithik edhing lumantar aksara.

51840cookie-checkGerakan Bangga Penggunaan Aksara Jawa Gerbangpraja “nggugah rasa SITHIK EDHING lumantar aksara”

Tentang penulis

Pekerja Sosial di BRSPA DIY merangkap admin website

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Jawab dulu 7 + = 15