CERITA WAYANG: SOFT SKILL ALA ARJUNA
Bagi penggemar cerita wayang atau hanya sekedar pernah sekilas membaca atau mendengar, pastilah tahu dengan karakter tokoh Arjuna. Dalam seni pertunjukan boneka kulit yang populer di Jawa dan bersumber dari kisah Mahabarata dari India ini, Arjuna dikenal sebagai seorang kesatria penengah Pandawa Lima yang sakti, terutama dengan kemampuannya melepaskan dan mengendalikan panah – panah pusaka.
Arjuna, dengan kemampuan memanahnya, menjadi tokoh yang begitu fenomenal dalam Mahabarata,. Peran sentralnya bisa dilihat, bagaimana ia mampu mengalahkan banyak tokoh kesatria dalam berbagai ajang, baik sayembara maupun pertempuran, termasuk perang besar Baratayudha. Tapi benarkah Arjuna adalah yang terhebat dalam hal memanah?
Ternyata dalam kisah Mahabarata, ada karakter tokoh lain yang kemampuannya tidak kalah dari Arjuna, bahkan mungkin melebihinya.
Tersebutlah tokoh pertama yaitu pertapa sakti bernama Baghawan Parasurama, yang sangat hebat kesaktiannya. Hal ini dibuktikan dengan murid – murid didikannya yang kemudian menjadi tokoh penting dalam kisah ini. Mereka itu ialah Bisma, yang masih terhitung kakek buyut dari Arjuna, kemudian Guru Drona disebut juga Durna dalam wayang kulit dan sering menjadi karakter yang selalu dirundung dan obyek ledekan oleh dalang dan penonton, padahal sejatinya Drona adalah sosok hebat, yang menjadi guru dari Pandawa dan Kurawa, di mana Arjuna merupakan murid kesayangannya karena bakat dan kecerdasannya.
Murid Parasurama yang lain adalah Karna, sulung dari para Pandawa, anak Dewa Surya, yang dibuang karena Kunti, ibunya, merasa malu dalam keadaan belum menikah saat memiliki Karna. Sosok Karna inilah yang menjadi pesaing Arjuna hingga akhir, berperang hingga kematian menjemputnya. Kekalahannya lebih disebabkan oleh sikap welas asihnya, yang kemudian membuatnya ‘mengalah’, setelah mengetahui bahwa Pandawa adalah adik–adiknya sendiri dan juga karena pencerahan dari Krisna yang menuntunnya untuk kembali ke jalan ksatria.
Tokoh lain yang jarang disebutkan dalam lakon wayang kulit populer adalah Ekalaya, yang belajar secara otodidak, dengan membuat patung Drona, yang dikaguminya, kemudian berlatih, seolah-olah ia ditunggui oleh Drona. Kemampuan memanahnya kemudian mampu menyaingi Arjuna.
Dengan keberadaan tokoh tokoh tersebut, Arjuna bukan satu-satunya kesatria pemanah yang terkuat. Bahkan jika melihat tingkatan pengajaran, Arjuna tidak mendapatkan pengajaran langsung dari Parasurama, yang bisa disebut sebagai maha guru dari kesatria hebat seperti Bisma, Drona dan Karna. Lalu mengapa Arjuna menjadi yang paling fenomenal atau bila dikatakan, paling sukses karirnya? Jawabannya adalah karena Arjuna memiliki soft skill , yang menjadi pembeda dengan para kesatria lainnya.
Soft skill adalah kecakapan personal dan interpersonal yang menentukan bagaimana seseorang berinteraksi dengan orang lain. Soft skill sulit diukur, namun sangat penting untuk membentuk karier yang sukses. Pada beberapa aspek, soft skill sifatnya given atau bawaan yang bukan berasal dari proses belajar, meskipun lingkungan tentu saja sangat membantu pembentukan kondisi emosional seseorang.
Kecerdasan emosional adalah salah satu wujud penting dari soft skill. Kecerdasan ini sangat membantu dalam berinteraksi dengan orang lain, beradaptasi dan juga bersikap terhadap suatu permasalahan. Kecerdasan emosional membantu person untuk dapat membawa dirinya dalam berbagai situasi, membuat orang lain merasa nyaman serta meredam konflik antar individu dalam tingkatan tertentu. Kecerdasan emosional berpotensi memacu kecakapan yang lain, seperti kepemimpinan, etika, berpikir positif, kolaboratif, dedikasi dan empati.
Soft skillsenyatanya adalah kemampuan yang sangat dibutuhkan di dunia kerja. Sebanyak 85% kesuksesan karier dipengaruhi oleh soft skill dan kemampuan sosial. Angka ini dibuktikan melalui riset dari Harvard University, Stanford Research, dan Carnegie Foundation.
Dalam sosok Arjuna, soft skill ini sangat kuat. Arjuna adalah orang yang mampu mengendalikan emosinya. Selalu menghormati gurunya dan yang lebih tua, tak pernah mengajukan diri atau ingin menonjol, cita-citannya selalu diselaraskan dengan kewajiban dan ketugasan dan saat melaksanakannya, penuh dedikasi dan selalu tuntas. Salah satu kecerdasan Arjuna dalam melihat situasi, yaitu saat kakeknya Bisma sekarat di medan perang Baratayudha dan minta untuk diberikan alas berbaring. Arjuna dengan sigap menancapkan beberapa anak panahnya membentuk penyangga, yang menopang tubuh Bisma hingga gugur. Arjuna tahu betul, kakeknya adalah ksatria sejati, sehingga pembaringan yang layak untuk itu tentunya adalah senjata perang sebagai bentuk penghormatan bagi seorang kesatria. Arjuna juga membuat satu keputusan penting jelang perang Baratayudha, saat Krisna menyuruh memilih, apakah akan memilih pasukan dari kerajaan Dwaraka milik Krisna atau memilih Krisna tanpa pasukan, tanpa senjata dan Krisna juga tidak ikut berperang. Duryudana, sulung para Kurawa, memilih pasukan lengkap dengan senjatanya, sedangkan Arjuna memilih Krisna seorang. Disini Arjuna memandang dengan kecakapannya, bahwa perang besar tersebut sejatinya adalah ajang pencerahan diri manusia, sehingga bukan menang kalah semata yang dicari. Menunaikan semua dharma kesatria dengan sebaik-baiknya itulah proses menuju penyempurnaan diri. Arjuna tahu bahwa Krisna akan dapat menuntunnya dalam jalan kebenaran, perihal kemenangan perang, sejatinya adalah prerogatif Yang Kuasa untuk menentukannya.
Parasurama adalah orang hebat dan bukanlah orang jahat, tetapi dia dirasuki dendam yang sangat dalam terhadap para bangsawan/kesatria, yang dianggapnya sewenang-wenang, sehingga ia membunuh begitu banyak kesatria di dunia, tanpa pandang bulu. Karakter agresifnya tersebut membuatnya menjadi sosok yang kemudian tidak terlalu memiliki teman. Bisma, muridnya, meski hebat tak kalah dengan gurunya, tetapi ia telah terjebak dalam sumpah pribadi dan pengorbanan dirinya, yang kemudian demi sumpahnya, ia membiarkan banyak ketidakbenaran yang terjadi di kerajaan yang diasuhnya, sampai memuncak menjadi perang saudara.
Guru Arjuna, Drona, demi rasa cinta buta pada anak tunggalnya, yang ingin dibahagiakannya dengan kesenangan duniawi, sehingga Drona menjadi terjebak pada hutang budi dan keterpihakan pada ketidakbenaran. Hutang budi jugalah yang menjebak Karna untuk berperang melawan adik-adiknya sendiri. Hal itu didorong terutama oleh ambisi pribadinya yang ingin menunjukkan dirinya sebagai seorang pemanah terhebat di dunia dan mengejar pencapaian Arjuna.
Arjuna bisa dikatakan tidak tersandera oleh kepentingan politis, balas jasa ataupun, ego yang berlebihan serta ambisi yang menepikan dunia sosial dan spiritual disekelilingnya. Karakter yang membuat dirinya mudah untuk berinteraksi dengan siapapun dan berpotensi memajukan organisasi ataupun masyarakat di sekitarnya.
Tentunya Mahabarata bukanlah sejarah dan bahwa sosok-sosok perwujudan karakter dalam cerita Mahabarata bukanlah sosok eksistensial. Namun dalam setiap kisah pada kebudayaan manapun di dunia, karakter-karakter itu adalah gambaran ataupun refleksi dari dunia empiris. Ia mengandung nilai ideal yang diharapkan sebagai pengajaran hidup bagi generasi-generasi berikutnya.
Dunia kerja/suatu organisasi, memang sangat membutuhkan orang berpengetahuan dan berkecakapan, namun tanpa adanya kemampuan untuk mengendalikan diri, beradaptasi, berempati dan mengendapkan ego, individu akan terjebak dalam keterasingan, perselisihan laten dan lebih buruk lagi, konflik dan persaingan yang justru kontraproduktif, bagi individu, masyarakat dan mengabaikan capaian organisasi. ( ditulis oleh Penyuluh Sosial Muda Dinas Sosial DIY )