SEMUA BENTUK PELAYANAN DI DINAS SOSIAL DIY TIDAK DIPUNGUT BIAYA-MEMBANTU MASYARAKAT ADALAH KEPUASAN KAMI
(Last Updated On: 25 June 2019)

Oleh: Feriawan Agung N.

Adakah pejabat tinggi yang datang ke Balai PSTW tetapi bukan untuk urusan kedinasan? Ada. Namanya tentu saya rahasiakan. Beberapa waktu ini dia hilir mudik dari Jakarta ke Jogja, ke Balai ini khusus untuk mengunjungi seorang lansia. Sebut saja namanya Mbah Wir. Perempuan.

Dua hari menjelang lebaran kemarin (3 Juni 2019), saya harus mengabarkan padanya tentang Mbah Wir.

“Maaf Pak. Mbah Wir kondisinya menurun. Biasanya, maaf, bukan bermaksud mendahului, ajal beliau sudah dekat.”

Ya. Bukan maksud saya atau teman-teman di sini untuk mendahului takdir. Tetapi bagi kami, sangat biasa mendapati lansia dengan kondisi dying, menurun, seperti halnya Mbah Wir, ajalnya sudah dekat. Bahkan, biasanya bisa diprediksi tidak sampai seminggu, Mbah Wir meninggal.

“Oh Ya Mas. Maaf sekali mengingat susahnya tiket dan kondisi kami di Jakarta, kami tidak bisa ke Jogja. Mohon Mas, meskipun pengalaman anda, saya percaya benar adanya, mohon untuk dibawa ke RS ataupun diundang Dokter untuk bisa memantau semaksimal mungkin kondisi Mbah Wir. Syukur, jika memungkinkan terjadi keajaiban, Mbah Wir bisa sehat. Soal biaya tentu akan saya penuhi berapapun yang dibutuhkan. Saya jamin.”

Tepat beberapa menit setelah kabar saya sampaikan ke Beliau, Bapak Sigit Alifianto (Kepala BRTPD), datang ke Balai untuk ikut melihat kondisi Mbah Wir. Rupanya Pak Pejabat dan Pak Sigit berteman akrab, sehingga demi memastikan kondisi Mbah Wir, Pak Pejabat membutuhkan second opinion dari Pak Sigit.

Pak Sigit meminta keterangan soal Mbah Wir dari saya langsung. Kami berkoordinasi. Mengingat dengan segala keterbatasan yang ada, dimana pegawai sudah libur dan hanya segelintir petugas kami yang piket, maka kami menghitung bagaimana memberikan pelayanan maksimal, khususnya untuk memastikan pelayanan medis pada Mbah Wir sebaik mungkin.

Selanjutnya kami melihat langsung kondisi Mbah Wir ditemani dengan pramubakti Balai PSTW. Kami bersama-sama menjadi saksi bahwa Mbah Wir dalam kondisi terbaring lemah, nafas berat tetapi lemah, mata terpejam. Namun responnya masih ada. Suhu tubuh dingin.

“Sopo iki?”

“Kulo Feri, Mbah.”

“Ooh…..(bergumam entah apa)”

Simbah kami potret, dan fotonya kami kirim ke Pak Pejabat Tinggi.

*

Tepat malam takbiran, sekitar jam 10 malam, Mbah Wir berpulang. Pagi selepas sholat Ied, petugas jaga bersama dengan masyarakat menguburkan jenazah Mbah Wir dengan cara muslim. Mbah Wir kami makamkan di pemakaman milik Balai PSTW. Ya, mereka bekerja di makam di saat banyak diantara kita yang sedang merayakan Idul Fitri.

*

Sabtu kemarin di kala pagi sebelum jam kerja, Pak Pejabat datang ke Balai. Setelah berbincang sekitar setengah jam, beliau menyempatkan diri ke makam Mbah Wir.

Saya masih ingat isi perbincangan itu.

“Mbah Wir merupakan orang yang tidak bisa saya lupakan, Mas Feri. Saya tidak pernah lupa akan jasanya. Itu terjadi di saat saya benar-benar membutuhkan tenaga kerja untuk mengasuh anak saya yang saat itu masih kecil. Anak saya yang sekarang ini diterima di salah satu universitas negeri terkemuka di Indonesia.”

Sejenak dia melayangkan wajah ke beberapa tahun silam.

“Saat itu saya masih dinas di luar Jawa. Di Sumatra. Belum menjadi pejabat. Mengingat keterbatasan suami istri, saya mendapat tugas wira-wiri begitu banyak. Di situlah saya butuh banget tenaga Asisten Rumah Tangga. Padahal, saya akan ada pertemuan beberapa hari di luar kota, sementara istri saya juga sedang ada tugas. Sampai menjelang H-1 saya ke luar kota, saya belum memperoleh tenaga ART.”

“Saat itulah, sepertinya Allah berbaik hati kepada saya. Kebetulan ada informasi dari tetangga, soal Mbah Wir yang saat itu tidak bekerja. Tadinya Mbah Wir bekerja di sebuah Pabrik Kayu. Pabriknya bangkrut dan dia menganggur. Akhirnya Mbah Wir bersedia untuk menjadi ART kami. Alhamdulillah.”

“Saya tidak tahu bagaimana orang lain berpikir soal tenaga kerja seperti Mbah Wir. Mungkin saja peristiwa itu adalah peristiwa lumrah. Tetapi bagi saya, jasa Mbah Wir itu merupakan salah satu anak tangga penting di dalam hidup saya. Tanpa dia, belum tentu keadaan saya bisa seperti sekarang ini. Saya tadinya hanya mimpi meraih eselon 3, sekarang saya sudah eselon 2. Pencapaian yang melampaui yang saya cita-citakan.”

“Sejak saat itu Mbah Wir sudah menjadi bagian dari keluarga saya. Sampai saya pindah ke Jakarta, dia ikut. Sampai kemudian dia merasa sudah tidak mampu bekerja dan ingin pulang ke Jogja, tanah kelahirannya. Dia kami antarkan kepada famili-familinya di Jogja. Segala tabungannya, perhiasannya, semuanya utuh karena semua kebutuhannya sudah kami cukupi.”

“Mungkin setelah itu, bagi sebagian orang, lepaslah sudah ikatan kerja antara keluarga kami dan Mbah Wir. Tetapi saya tidak. Selama beberapa bulan saya ke Jogja untuk melihat kondisi Mbah Wir. Ternyata tidak seperti yang saya bayangkan. Mbah Wir begitu loyal dengan familinya. Semua perhiasan, tabungan dan uang dia semuanya lenyap karena diberikan kepada para famili. Hingga setelah habis, Mbah Wir hanya tinggal di tempat yang tidak layak di belakang rumah.”

“Saya tidak tega. Untuk itulah saya berupaya bagaimana caranya Mbah Wir bisa dirawat oleh familinya dengan baik. Saya kirimkan uang yang cukup untuk sekedar memenuhi kebutuhan harian dan perawatan, termasuk kesehatan. Itu selama beberapa bulan saya kirimkan.”

“Tetapi rupanya tidak seperti harapan saya. Mbah Wir kondisinya semakin memprihatinkan. Sepertinya memang keluarganya sudah tidak terlalu perduli. Melihat demikian, saya berkoordinasi untuk bisa dibawa ke Balai ini. Sayalah yang bertindak sebagai penanggungjawabnya. Bersyukur bahwa di Balai ini dia kerasan dan akhirnya saya pantau kondisinya semakin baik. Dia bisa hidup relative layak dan mendapatkan pelayanan selama beberapa tahun, sampai akhirnya dia bedrest.”

“Mas tahu sendiri, kita terakhir ketamu saat saya menjenguk Mbah Wir, sekitar sebulan lalu saat Ramadhan. Itulah kesempatan terakhir saya melihat Mbah Wir.”

“Sekali lagi, bagi saya, meskipun secara status kerja dia hanyalah ART, bagi saya dia adalah orang yang sangat berjasa. Dia adalah anak tangga kehidupan kami yang membuat kami sekeluarga bisa sukses seperti sekarang ini.”

“Terima kasih untuk Anda dan teman-teman yang sudah merawat Mbah Wir dari awal masuk sampai meninggal.”(*)

Pakem, 24 Juni 2019

(Penulis adalah Pekerja Sosial Balai PSTW)

56440cookie-checkANAK TANGGA KEHIDUPAN

Tentang penulis

Pekerja Sosial di BRSPA DIY merangkap admin website

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Jawab dulu 33 − = 30