SEMUA BENTUK PELAYANAN DI DINAS SOSIAL DIY TIDAK DIPUNGUT BIAYA-MEMBANTU MASYARAKAT ADALAH KEPUASAN KAMI

KEKASIH YANG TAK DIANGGAP

(Last Updated On: 17 November 2018)

Oleh: Feriawan Agung Nugroho, S.Sos

[bscolumns class=”one_half”]

Pasangan ini sudah 37 tahun menikah dan sekarang tinggal di Balai PSTW. Tanpa keturunan. Si suami, sebut saja Mbah Di, tidak memiliki pekerjaan yang mapan yang membuatnya punya cukup pensiun di hari tuanya. Si istri, Mak Wati, dulunya seorang guru PAUD swasta dengan gaji jauh dari cukup untuk menutup kebutuhan sehari-hari. Kami menjangkau mereka dari sebuah rumah milik sepupu mereka yang katanya akan dipakai untuk usaha. Di rumah yang besar itu, ketika kami kunjungi, seharian mereka belum makan karena tidak ada uang. Hari-hari sebelumnya pun demikian, hanya dengan belas kasihan dari tetangga kiri kanan mereka bisa makan nasi dengan lauk seadanya sekedar menyambung hidup.

Mbah Di begitu sayang dengan istrinya. Untuk ukuran orang jawa yang biasanya para suami cenderung bersikap sejajar dalam tingkatan berbahasa, atau bahkan lebih rendah (ngoko), Mbah Di masuk dalam kategori menghormati istrinya. Tutur kata kepada istrinya lembut, menunjukkan begitu cintanya dia dengan Mak Wati. Mak Wati, sekilas akan tahu betapa dia menunjukkan wajah sangat cemburu ketika Mbah Di berjoget di sesi dendang ria di Balai, ketika puluhan pasang mata simbah-simbah putri tertuju pada Mbah DI, atau ketika mahasiswi-mahasiswi praktikan mengajak Mbah Kakung ini menggoyangkan badannya mengikuti aluna irama yang kadang-kadang genit seperti lagu cucak rawa atau terajana. Mengetahui jika istrinya gampang cemburu, maka sekali sempat Mbah Di mengajak istrinya untuk berdansa. Ya berdansa dengan disaksikan oleh sekian pasang mata dengan lagu-lagu nostalgia yang dinyanyikan simbah lain.

Ya, Mbah DI begitu sayang dengan istrinya. Itu ditunjukkannya saat sejak awal dia berada di Balai ini, terindikasikan bahwa si istri menderita depresi yang mengharuskannya mengkonsumsi obat penenang secara rutin. Berbeda dengan kenyataanya, si Istri melaporkan kepada psikiater bahwa Mbah Di tidak menyayanginya, mengkhianati cintanya, membuatnya merana selama bertahun-tahun tanpa perhatian yang dia harapkan. Semua cinta yang ditunjukkan Mbah Di, menurut si Istri tidak seperti yang dia harapkan. Hal itulah yang membuatnya susah tidur, kadang berteriak-teriak sendirian, mengurung diri di dalam kamar, somatisasi: menolak makan, hingga tubuhnya kurus kering tidak terurus. Mengaku kepada psikiater bahwa dirinya vertigo, meski dari pengamatan paramedis dia jauh dari indikasi vertigo. Berkeinginan terus mengkonsumsi ctm karena susah tidur. Pendek kata, dia meminta perhatian lingkungan untuk menunjukkan pada dunia betapa dirinya begitu menderita. Vonis dari psikiater jelas, depresi, mengingkari kenyataan bahwa perhatian Mbah Di sesungguhnya sangat luar biasa, memperlakukan si istri sebagai ratu.

Betapa Mbah Di harus memiliki kesabaran ekstra. Ketika istri mengurung diri di kamarnya dari ikut obrolan di dalam wismanya, menolak berkegiatan, menuntut ini itu, Mbah Di harus menerima cercaan dari kiri kanan, hinaah, sindiran yang kadang begitu menyakitkan telinga. Dengan perlahan dan hati-hati Mbah Di harus membujuk istrinya untuk keluar kamar dan mau bergaul, ikut kegiatan. Tidak kenal lelah Mbah Di membujuk Mak Wati. Mbah Di bukan orang yang gampang terprovokasi atau suka berkonfrontasi. Dia tahu istrinya yang salah dan menyebabkan lingkungan tidak suka. Dia terima hukuman dari lingkungan kepada dirinya dan istrinya. Baginya, jika mengikut bahasa Dilan, biarlah dia yang menanggungnya.

[/bscolumns] [bscolumns class=”one_half_last”]

Ada apa di balik depresi Mak Wati?

Dalam pertemuan dengan psikiater pada sesi berikutnya, terkuaklah misteri itu. Jauh sebelum Mak Wati menikah dengan Mbah Di, ada seseorang lelaki yang dicintai Mak Wati. Perasaan itu begitu kuat. Sangat kuat tertanam di hati Mak Wati sehingga berakibat Mak Wati sampai dengan detik ini, sesuai pengakuannya, gagal move on selama bertahun-tahun. Cintanya pada si lelaki kandas. Tertolak. Meski tidak jelas pengakuan Mak Wati, apakah mungkin karena Mak Wati yang tidak mau mengaku cinta kepada si lelaki sehingga dipendam dan akhirnya menyesal karena lelaki tersebut menikah dengan orang lain, apakah mungkin cintanya ditolak, atau mungkin karena lelaki tersebut bagaikan sebuah utopia bagi dirinya. Tak terjangkau sehingga menjadikannya silent admirer. Pada sesi itu tidak tertangkap pengakuan Mak Wati secara gamblang.

Persoalan gagal move on ini menjadi persoalan serius, karena hingga dua adik Mak Wati (dari empat bersaudara) menikah, Mak Wati masih belum mendapatkan lelaki yang bisa menggantikan posisi pria idaman tersebut. Dalam kultur Jawa, atau mungkin Indonesia, ketika seorang perempuan “terlangkahi” oleh pernikahan adik-adiknya, tentunya menjadi semacam “aib” bagi dirinya, bagi keluarga, bagi keturunannya. Malu sekali. Tekanan akan muncul dari lingkungan, dari orang tuanya, dari teman-temannya. Percayalah, pertanyaan tentang jodoh ini lebih tajam dari silet. Mampu mencabik-cabik hati tanpa ampun, meskipun disampaikan dengan bahasa yang halus, sehalus bedak bayi. Pilihannya tidak banyak tetapi tetap saja dilematis: menunggu sampai hatinya luluh dan waktu menghapus kenangan tentang lelaki idaman, ataukah harus menyerah menerima cinta seseorang yang datang padanya dan biarkan waktu yang menjawabnya. Pada akhirnya, Mak Wati memilih yang kedua.

Tepat di hari pernikahan saudara tirinya, saat itulah Mbah Di jatuh hati pada Mak Wati. Dari sekian kerumunan undangan dan keluarga yang datang, kecantikan Mak Wati mencuri perhatiannya, Cinta pada pandangan pertama, yang bagi sebagian orang adalah cinta yang menipu, tetapi tidak bagi Mbah Di. Keinginannya bulat dan bisikan hatinya kuat, bahwa perempuan itu adalah jodohnya. Maka lewat berbagai cara, singkat cerita, Mak Wati menerima cinta Mbah Di. Harapannya tentu sederhana: dengan begitu besarnya cinta Mbah Di, begitu kuatnya keinginan Mbah Di, waktu akan membukakan pintu hatinya untuk tumbuh benih-benih cinta.

Sayang, hingga waktu berlalu 37 tahun, selama itu pula mereka tidak dikaruniai keturunan yang hadir menguatkan batin mereka. Selama itu pula bayangan tentang lelaki idaman yang ada di dalam hati Mak Wati tidak pernah sirna. Mak Wati terlalu berharap, bahwa Mbah Di mampu berbuat, bertindak, berkharisma sebagaimaan lelaki idamannya itu. Mak Wati semacam berkemauan bahwa figur lelaki idamannya itu menitis dalam diri Mbah Di. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Selama itu pula batinnya terus tersiksa. Sebaik apapun kelakuan Mbah Di, sebesar apapun cintanya, di mata Mak Wati, semua itu tidak berarti kecuali semakin membuatnya ingin lari dari kenyataan hidupnya.

Sebagaimana perilaku manusia patah hati yang parah, Mak Wati bersandiwara dengan dirinya sendiri untuk memerankan peranan menjadi manusia paling menderita, berharap bahwa lelaki pujaanya akan datang dan mengasihaninya, memberikan perhatiannya dan pada akhirnya menjadi iba untuk kemudian menerima cintanya. Mak Wati bersandiwara seolah-olah dirinya tidak bisa berjalan, padahal kakinya normal saja. Bersandiwara bahwa nasi dengan butiran normal, baginya, sulit ditelan dan hanya mampu makan bubur bayi. Bersandiwara, bahwa dirinya harus menggunakan kursi roda, meski kakinya mampu melangkah. Semakin dikasihani, semakin dia merasa nyaman untuk terus bersandiwara dengan hidupnya. Sementara, sandiwara terbesarnya yang disesalinya, adalah pernikahannya dengan Mbah Di.

Dalam perbincangan dengan Mbah Di, saya berusaha menggali dari Mbah DI tentang pernikahan mereka yang bisa bertahan hingga sekian lama. Pertanyaan saya: Apakah Mbah Di tidak merasa capek, sehingga memiliki cinta yang besar dengan Mak Wati? Apakah selama ini Mak Wati pernah memperbandingkan Mbah Di dengan sosok yang lain?

Mbah Di menjawab bahwa selama ini yang terjadi baik-baik saja. Mak Wati mencintainya sebagaimana sebesar cintanya pada Mak Wati. Begitu dia ucapkan. Sebuah ucapan yang tidak terlalu meyakinkan karena matanya menunduk ke bawah dan hidungnya digaruk-garuk. Mungkin Mbah Di tidak tahu. Mungkin juga dia sudah tahu. Sangat tahu. (*)

[/bscolumns]

foto inzet: WIDYASTITINHIDAYAH

44500cookie-checkKEKASIH YANG TAK DIANGGAP

Tentang penulis

Pekerja Sosial di BRSPA DIY merangkap admin website

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Jawab dulu 33 − 31 =